BEV adalah ikon otomotif masa depan
Sejatinya, “pergerakan angin” dalam bisnis dan industri otomotif global saat ini semakin melaju kencang menuju mobil listrik atau electric vehicle (EV) sebagai kendaraan masa depan. Hal itu tercermin dari semakin banyaknya jumlah pabrikan otomotif yang belakangan ini gencar memproduksi mobil elektrifikasi. Ada pabrikan otomotif yang langsung memasarkan mobil setrum murni (BEV) antara lain Nissan dan Tesla. Sementara pabrikan otomotif lainnya memilih sikap konservatif alias berhati-hati (tepatnya wait and see) dan mengikuti tahap transisi sebelum memasuki dunia mobil listrik penuh. Contohnya Toyota yang membuat mobil hybrid Toyota Prius sebagai jembatan menuju mobil baterai 100% alias BEV.
Kilang pengolahan minyak milik Pertamina
>>>Mengintip Cara hingga Biaya Perawatan Mobil Listrik
Dari sisi teknis, mobil dengan motor listrik menawarkan beragam keunggulan dibanding mobil konvensional yang memakai mesin pembakaran dalam. Selain bebas polusi (emisi gas buang), mobil setrum baterai juga tidak butuh bahan bakar dan minim perawatan. Tentunya nilai jual unggulan seperti itu menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak-pihak yang punya urusan dengan bisnis otomotif global. Terkait hal tersebut, wajar kalau Indonesia sangat berkepentingan untuk bergabung dengan revolusi teknologi mobil setrum.
Terlebih saat ini impor BBM Indonesia mencapai 400.000 barel per hari atau setara dengan Rp 200 Triliun per tahun. Pada sisi lain, produksi minyak bumi nasional berkisar 800.000 barel per hari, sedangkan permintaan mencapai 1,2 juta -1,8 juta barel per hari yang sebagian besar tersedot untuk kebutuhan transportasi (publik maupun pribadi). Sebagai perbandingan, uang Rp 200 Triliun bisa digunakan untuk membangun sebuah kilang pengolahan minyak yang baru. Sementara pembangunan terakhir kilang pengolahan minyak dengan kapasitas besar adalah kilang Balongan yang beroperasi sejak tahun 1994 (kapasitas produksi 125.000 barel per hari yang akan dikembangkan menjadi 150.000 barel per hari).
Kata kunci untuk BEV terletak pada teknologi baterai
>>>Keberhasilan Mobil Listrik Bergantung Pada Infrastruktur Pengisian Dayanya
Mengapa Harus Mobil Listrik?
Bicara soal mobil setrum, pemerintah Indonesia sudah bertekad untuk menyambut teknologi EV secara resmi melalui Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 yang bertujuan memenuhi target penurunan polusi udara dan penurunan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Salah satu target yang ingin dicapai dalam Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 adalah peningkatan populasi kendaraan bertenaga listrik atau hybrid pada 2025 sebanyak 2.200 unit mobil.
Secara prinsip, kunci kendaraan listrik terletak pada baterainya. Saat ini, baterai Li-ion dan baterai Ni-MH menjadi pilihan utama pada kendaraan elektrifikasi. Selain Li-ion dan Ni-MH, ada baterai jenis Cobalt Dioxide, Iron phosphate (FePo), Lithium-iron phosphate (LiFePo4), Lithium-Air (Li-Air), Lithium Polymer (LiPo), Nickel-cobalt-manganese (NCM), Nickel-cobalt-aluminum (NCA), dan Manganese oxide spinel (MnO). Yang jelas apa pun jenis baterai mobil listrik, bahan bakunya menggunakan lithium, nikel, kobalt, mangan dan aluminium. “Indonesia mempunyai nikel (sekitar 3 miliar ton atau setara dengan 23,7% cadangan dunia), kobalt (sekitar 480 juta ton), bauksit (sekitar 4,4 miliar ton) dan mangan (sekitar 54 juta ton). Semuanya berkualitas terbaik dunia. Perkiraan total aset tersebut sebelum diolah mencapai sekitar US$ 90 triliun dan jika diolah menjadi produk hilir maka nilainya akan naik lebih dari lima kali lipat,” ujar Dr. Yannes Martinus Pasaribu, M.Sn selaku pengamat otomotif melalui pesan singkat.
Menilik potensi tersebut, tidak heran banyak investor raksasa asing yang ingin berinvestasi di Indonesia untuk mendirikan pabrik baterai mobil listrik seperti CATL (Contemporary Amperex Technology, vendor untuk Tesla), Hyundai dan Toyota. “Strategi mobil listrik sangat ‘reasonable’ bagi Indonesia yang berpotensi menjadi salah satu produsen baterai mobil listrik terbesar dunia. Apalagi permintaan terhadap baterai mobil listrik akan meningkat dengan prediksi pertumbuhan mencapai 12% (tahun 2025) dan 23% (tahun 2030).
Ini akan menjadi salah satu sumber penghasil terbesar devisa bagi Indonesia,” lanjut lektor FSRD ITB (Fakultas Seni Rupa Desain Institut Teknologi Bandung) yang pada tahun 2012-2017 melakukan pengembangan desain dan prototipe mobil listrik jenis city car, MPV, dan microbus. Nah, berangkat dari berbagai latar belakang tersebut, kunci pertumbuhan bisnis mobil listrik dan industrinya di Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang tepat agar proses pembentukan manufaktur hingga penyebaran penggunaan mobil listrik berada dalam jalur yang benar.
Ruang pamer dealer BEV berperan menyiapkan konsumen
>>>Studi: Masyarakat Indonesia Kian Antusias dengan Mobil Listrik
Hal-hal Yang Harus Disiapkan
Walau mobil listrik sudah beredar di berbagai penjuru dunia, menghadirkannya di Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Mobil-mobil listrik itu memang sudah dipasarkan oleh IU (importir umum) maupun APM (agen pemegang merek), namun tidak berarti semua orang lalu berduyun-duyun mengantri di show room untuk membelinya. Banyak hal yang harus disiapkan terkait kehadiran mobil listrik di Indonesia.
Besarnya potensi bahan metal dalam pembuatan baterai mobil setrum di Indonesia menarik banyak pemain dan pebisnis kelas dunia bahkan negara besar dengan kemampuan industri otomotif berskala raksasa untuk ikut bermain di dalamnya. Sumber daya alam Indonesia sudah menjadi perhitungan dunia, apalagi jika Indonesia benar-benar berhasil menjadi salah satu pemain raksasa dalam industri baterai mobil listrik di dunia. Faktor lain adalah peningkatan ekonomi negara akan menaikkan konsumsi masyarakat.
Jika penjualan mobil di Indonesia sudah menjadi yang terbesar di ASEAN, boleh jadi naik menjadi urutan yang lebih tinggi lagi dan semakin menempel India. “Jika kondisi itu terjadi dan Indonesia tidak mempersiapkannya secara cermat sejak dini, bukan tidak mungkin Indonesia tetap akan menjadi ‘nett mobil listrik consumer country’,” wanti Dr. Yannes Martinus Pasaribu, M.Sn yang menyelesaikan studi sarjana hingga doktor di ITB.
Pada sisi konsumen, Dr. Yannes Martinus Pasaribu, M.Sn menyebutkan karakter masyarakat Indonesia yang senang sekali mengonsumsi sesuatu yang baru. Sebab, faktor kebaruan adalah segalanya bagi pasar Indonesia. Dan teknologi BEV menjanjikan sebuah pengalaman yang benar-benar baru. Hanya saja kendala utamanya terletak pada harga yang masih terlalu mahal karena harga baterai yang bisa mencapai 40% - 50% dari harga mobilnya. Untuk itu penting sekali kebijakan pemerintah melalui regulasi, insentif, dan infrastruktur yang pro kepada ekosistem kendaraan listrik dan mulai menekan kendaraan berbasis energi fosil.
Menutup sesi “kuliah”, Dr. Yannes Martinus Pasaribu, M.Sn yang menjadi juara pertama dalam International Daimler Chrysler – Bus Design Competition untuk kategori City Bus dan Intercity Bus pada tahun 2001, menyampaikan kesimpulan. Pengembangan industri BEV nasional di masa depan tergantung pada dukungan politik dan peraturan pemerintah yang akan berdampak kuat pada pengambilan keputusan masyarakat bagi sarana transportasi publik hingga sarana mobilitas pribadi. Dalam hal itu, Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara lain dan kemudian memilih untuk menjadi produsen BEV nasional atau hanya menjadi pasar. Mari kita lihat melalui perjalanan waktu.