
Saat ini, membayangkan merek Daihatsu, Isuzu dan Hno terjun di arena balap sportscar jelas akan terasa aneh. Daihatsu adalah merek identik dengan mobil mungil dan mobil keluarga, sementara Isuzu dan Hino merupakan merek truk.
Tetapi, ada masanya ketika ketiga merek ini merupakan produsen mobil biasa dan membutuhkan imej motorsport sehingga memutuskan untuk ikut mencicipi panasnya aspal kompetisi. Nama balapnya adalah Japan Grand Prix. Diselenggarakan awalnya di Sirkuit Suzuka pada 1963, namun pindah ke Fuji Speedway sejak 1966.
Poster promosi Japan Grand Prix
Munculnya balap pertama Jepang tentu memancing animo luar biasa pabrikan. Nissan dan Toyota sudah pasti. Tapi yang mengejutkan adalah partisipasi merek-merek yang saat ini tak ada hubungannya dengan dunia sportscar.
Daihatsu, misalnya, menurunkan sportscar P3 dan P5. Isuzu malah lebih agresif dengan menurunkan Bellet R6 pada Japan GP 1968 dan R7 Group 7 bermesin Chevrolet pada tahun berikutnya. Lalu ada Hino yang eksis dengan Samurai racikan BRE. Mari simak kisah lebih lengkapnya.
Apa Itu Japan Grand Prix?
Jangan bayangkan kondisi Jepang pada tahun 1963 sama seperti sekarang. Nama Jepang di dunia otomotif global masih belum apa-apanya. Motorsport pun dipandang sebagai sarana tepat untuk mengakselerasi ketertinggalan Jepang dari Eropa dan Amerika. Sebuah balapan pun digagas dan diberi nama Japan Grand Prix. Balapan Jepang pertama pun lahir. Japan GP pertama yang diselenggarakan pada 3 Mei 1963 di Sirkuit Suzuka berhasil mengundang kehadiran 200 ribu penonton.
Duel Prince Skyline vs Porsche 904 di Japan GP 1964
Tidak hanya merek Jepang, pabrikan asal Eropa pun tertarik untuk mengikuti Japan GP. Masalah muncul ketika pada saat itu belum ada pabrikan Jepang memiliki mobil dirancang khusus balap. Pada perhelatan perdana Japan GP, merek-merek samurai praktis hanya hanya mengandalkan model paling sport mereka, untuk kemudian dimodifikasi sesuai keperluan trek.
Sedangkan merek Eropa hadir dengan mobil-mobil balap berspesifikasi Le Mans. Sehingga harus rela diasapi merek asing di kandangnya sendiri. Pemenang perdana Japan GP adalah Peter Warr yang mengemudikan Lotus 23. Kejadian serupa juga terjadi di tahun berikutnya, ketika Prince Skyline 2000GT harus bertarung “tangan kosong” melawan Porsche 904. Meski kalah dari Porsche, armada Skyline berhasil finish P2 – P6 di Japan GP 1964.
Video Japan Grand Prix 1969
Pabrikan Jepang segera merespons dengan menyiapkan mobil-mobil khusus berspesifikasi balap. Prince menyiapkan sports car R380 bermesin GR-8 2,0 liter dengan daya maksimum 200 dk. R380 berhasil menjuarai Japan GP 1966 meski setahun berikutnya harus mengakui keunggulan Porsche 906.
Puncak kejayaan Japan GP adalah ketika sejumlah pabrikan Jepang mulai mengadopsi regulasi Grup 7 sejak 1968. Diusung oleh balap Can-Am Amerika Serikat dan Interserie Eropa, Grup 7 sering disebut sebagai “balap tanpa batas”. Hal ini disebabkan memang tidak adanya batasan dalam segi apa pun, termasuk tenaga mesin dan downforce. Kurang kencang, modifikasi mesin atau tambahkan turbo. Mesin boros? Tinggal perbesar tangki bensin. Sulit dikendalikan? Silakan pasang peranti aerodinamika sebebas mungkin.
Sayang kejayaan Grup 7 hanya berlangsung selama dua tahun. Setelah Japan GP 1969 yang menyajikan pertarungan luar biasa antara Nissan R382 vs Toyota 7 vs Porsche 917 dan berakhir dengan kemenangan Nissan, penyelenggara balap berubah pikiran. JAF selaku penyelenggara Japan GP memberlakukan regulasi baru yang melarang mobil-mobil Group 7 untuk berlaga. Antara 1971 – 1975, Japan GP berubah menjadi bagian dari kejuaraan dunia Formula 2. Lalu sejak 1976 Japan GP pun menjadi bagian dari seri Formula 1, hingga saat ini.
>>> Dari Balap Ke Jalan Raya: 5 Warisan Balap Le Mans 24 Jam
Daihatsu
Daihatsu hadir dengan dua model yaitu P3 dan P5. Daihatsu P3 menggunakan mesin 1300 cc 4 silinder dengan daya “hanya” 101 PS yang dikawinkan dengan transmisi Hewland MK-IV 5peed manual. Terjun di Japan GP 1966, Daihatsu P3 secara mengejutkan berhasil menjadi juara kategori P3. Mobil berkelir kuning dengan strip hijau ini tampil dua kali lagi, di 1000 Km of Suzuka tahun sama, serta Suzuka 12 Hour 1968.
Model kedua adalah Daihatsu P5. Jika P3 masih memiliki desain kaku, maka P5 tampil lebih streamline layaknya prototipe Grup 6 Eropa seperti Ford GT maupun Ferrari 330 P3. Sumpah, Anda takkan sadar bahwa ini mereknya Daihatsu. Mesin masih sama dengan P3, namun dengan tenang didongkrak hingga 140 PS. Meski harus menghadapi rival bermesin 2000 cc atau bahkan 7000 cc, senjata utama berupa konsumsi bbm irit, bodi aerodinamis hasil tes terowongan angin, serta bobot seringan 510 kg membuat Daihatsu tetap optimis.
Daihatsu P5 tampil perdana di Japan GP 1967, meski tidak finish akibat didiskualifikasi. Setahun berikutnya di Japan GP 1968, Daihatsu menerjunkana armada berupa kuartet P5 yang masing-masing diberi setrip berbeda. Prestasi terbaik ditorehkan oleh Takao Yoshida yang berhasil finish P10 keseluruhan dan menjadi pemenang kategori GP1. Berikutnya, P5 tampil di 1000 Km of Suzuka 1968 dan finish P3 keseluruhan.
Tahun 1969, Toyota membeli Daihatsu. Meski terjadi perubahan strategi model besar-besaran, Daihatsu masih menurunkan P5 di 1000 km of Suzuka 1969 dan mencatat torehan prestasi terbaiknya. Ketika Keizo Yabuki berhasil finish posisi runner-up. Setelah ini, Daihatsu mempensiunkan P5.
Dari 4 unit P5 diproduksi, satu unit berhasil direstorasi pada 2009 meski hanya bodi dan sasis tanpa mesin. Mobil tampil beberapa kali dalam publik meski lebih sering berdiam diri disimpan di gudang Daihatsu di Itami, jepang. Baru pada Agustus 2018 Daihatsu berhasil menemukan 1 unit mesin R29B pada bengkel Yamamoto Motors di Ayabe. Daihatsu menugaskan 35 unit teknisi untuk merestorasi mobil secara utuh.
Isuzu
Siapa bisa membayangkan jika Isuzu Traga memiliki saudara jauh berupa sportscar cantik bernama Isuzu Bellet R6 dan mesin prototipe Grup 7 dinamai Isuzu R7? Meski bernama sama, Isuzu Bellet R6 praktis hanya memiliki hubungan berupa donor mesin dengan Bellet biasa. Kedua model ini tampil pada tahun terakhir Japan GP di tahun 1969. Isuzu menurunkan dua R6 dan satu R7.
Isuzu R7 bermesin Chevrolet 7000 cc
Kurangnya pengalaman dan persiapan membuat aksi R6 tidak bisa disebut berhasil. Mobil #29 gagal finish akibat gangguan baterai, sementara #28 meski finish gagal masuk klasifikasi akibat kurangnya jumlah putaran. Untuk R7, mobil start P13 dan mesin finish hanya meraih P15. Kami sudah pernah membahas lebih lengkap aksi R6 dan R7 yang bisa dibaca di sini.
Hino
Sebagaimana pabrikan Jepang lain pada masa itu, Hino yang masih memproduksi sedan juga merasa akan pentingnya imej balap bagi lini produk mereka. Hino pun menugaskan pembalap legendaris Peter Brock dengan BRE-nya (Brock Racing Enterprise) untuk membuat mobil balap yang akan diturunkan di Japan GP dan Le Mans. Dan hasilnya adalah sosok merah memikat bernama BRE Hino Samurai.
Dalam prosesnya, Brock menggandeng pembuat bodi terkenal asal Amerika Troutman-Barnes untuk membuat bodi Samurai. Bodi rancangan Brock dibuat dari material aluminium yang duduk di atas sasis baja tubular. Untuk mesin, Brock mengambil unit 1300 cc milik Hino Contessa yang meski kecil, namun bobot seringan 530 kg membuat Samurai memiliki power-to-weight ratio setara dengan Lotus Elise era modern.
Dari tiga merek di artikel ini, Hino Samurai menjadi pemilik kisah paling tragis. Pada saat scrutineering Japan GP 1967, pihak pengawas menemukan bahwa mobil tidak memiliki ground clearance yang diperbolehkan dalam regulasi. Akibatnya mobil kalah sebelum bertarung akibat didiskualifikasi panitia. Meski begitu, Peter Brock tidak berkecil hati karena mobil telah berhasil mencuri perhatian dan menjadi media darling pada waktu itu.
Tak lama setelah Japan GP 1967, presiden Hino wafat dan perusahaan diambil alih oleh Toyota. Sama halnya seperti Daihatsu, hal ini mengakibatkan perubahan strategi produk. Hino pivot untuk menjadi produsen bis dan truk. Dampaknya bagi program Brock pun jelas, tidak lanjut. Mimpi Samurai untuk tampil di Le Mans pun kandas.